sastra

a raining day in paradise

yaumul mumthir fyl jannah

Hujan tak berhenti turun, butiran-butirannya yang bening dan dingin seakan hendak membasuh lelah dan keluh kesah setiap insan. Panyuran sedang basah, diguyur hujan sepanjang hari. Membuat siapapun malas untuk keluar rumah. Lebih memilih tidur bergelung di kamar di bawah selimut hangat atau berkumpul dengan keluarga di depan layar televisi. Hari itu, selain derum hujan, tak ada lagi suara yang terdengar di jalanan. Tak ada siapapun yang melintas, kecuali seorang pemuda yang tengah berdebar-debar hatinya. Melompat dari satu teras ke teras rumah lainnya dalam usaha menghindari guyuran hujan.

Solikhul merapatkan hem hitamnya yang mulai lembab terciprat percik hujan. Angin yang berhembus membuatnya merasa lebih dingin. Sedang hatinya tak pernah berhenti dari gelisah dan tanda tanya. Sejenak dia layangkan pandang ke sekeliling, benar-benar sepi, tak ada siapapun. Solikhul menarik nafas dalam, menatap lurus ke depan, beberapa puluh rumah di depan sana terdapat rumah Wak Min yang sekaligus merangkap sebagai kedai mie ayam, kesanalah dia hendak menuju. Kembali Solikhul berjingkat.

“Apa benar yang dikatakan Arul?” Solikhul membatin. Dia terkenang peristiwa lima hari lalu. Pukul delapan malam, setelah para santri Al-Qudwah selesai makan, seperti biasa Arul dan Solikhul tidak langsung kembali ke asrama. Mereka punya hobi mengamati bintang dan awan putih yang merambat pelan di bawah bayangan langit malam. Tapi bukan hanya karena itu malam ini mereka bertahan di tempat makan. Sebelum mereka keluar dari Masjid As-Syams selepas kursus rutin Bahasa Arab, Arul membisiki Ikul—panggilan akrab Solikhul.
“Sparta-kul, aku punya info puenting buatmu!!! Ntar bis makan tak kasi tau. Oklik?” Ikul hanya tersenyum, bukan hanya karena nama aneh yang dijulukkan padanya oleh sahabatnya itu, tapi juga karena dugaan info puenting yang akan dikatakan si Arul itu. Paling-paling tentang ternak sapi yang sakit lagi—pondok Al-Qudwah peternakan sapi dan akhir-akhir ini ada beberapa yang sakit.
“Jadi, apa berita pentingnya? Awas kalau gak penting.” Ikul mengawali pembicaraan, sementara tatapannya tak lepas dari rasi bintang scorpion di kejauhan sana. Arul tak langsung menjawab. Dia keluarkan hp dari saku celananya. Tapi tidak membukanya.
“Eh, kau tahu gak akhwat yang namanya Zahra?”
“Zahra? Ng…gak tuh. Yang mana ya?” Arul tertawa mendengar jawaban ikul.
“Kau tidak tahu? Sialan, aku juga gak tau kok! Wahahahaha.”
“Huah, Rul Rul, kalau cuma gini, info penting macam apa itu.” Ikul hendak pergi dari tempat duduknya tapi Arul segera menangkap pergelangan tangannya. Dan berkata,
“Tak perduli apakah kau mengenalnya atau tidak, yang penting, harus kukatakan bahwa dia, Ukhti Zahra, menyukaimu sobat!!!”

Ikul berhenti melompat di teras sebuah rumah kosong. Pakaiannya semakin basah sementara hujan belum juga menampakkan tanda-tanda mau reda, bahkan tambah menggila. Air kecoklatan mengalir deras di depannya, menutupi permukaan jalan. Warna coklat air itu mengingatkannya pada seseorang, Zahra….

Pagi setelah malam pemberitahuan itu, untuk pertama kalinya Ikul melihat ukhti Zahra. Dengan ditemani Radit, santri kecil yang entah bagaimana bisa mengenal begitu banyak akhwat, Ikul menyaksikan seperti apa orang yang telah mengejutkan hatinya itu di antara kerumunan para akhwat yang hendak keluar pondok untuk suatu keperluan (Ikul tak tahu apa).
“Yang mana Dit?” tanya ikul.
Seng iku lho cak. Yang itu, yang pakai jilbab coklat, yang tinggi itu lho.”
Dan, berdesir darah Ikul demi melihatnya. Subhanallah, hanya itu yang terbetik dari bibirnya. Entah mengapa, buru-buru dia berpaling. Pergi meninggalkan Radit sendirian. Tidak dia perdulikan panggilan Radit, karena saat itu sesuatu yang lain tengah menggetarkan dirinya, membakarnya dari dalam dengan api yang tak pernah bisa akan dimengerti kecuali oleh yang mengalaminya sendiri.

“Sparta, beberapa hari yang lalu, aku dapat sms dari seseorang yang ternyata dia santri sini. Dia menanyakan tentangmu. Hal-hal yang agak remeh sih. Seperti kamu aslinya dari mana, berapa lama akan di pondok ini, setelah selesai mau kemana, dan s’bagainya. Tapi kemudian, seperti yang telah kuduga sebelumnya, dia mulai menanyakan hal-hal yang pribadi. Kamu anak keberapa, sudah punya pacar belum, kapan mau nikah, de el el.” Arul memulai ceritanya tentang bagaimana awal dari berita besar tersebut. Ikul hanya diam menyimak. Yang jelas, saat itu, dia sedang tersesat antara perasaan percaya dan tidak percaya.
Dari Arul, tahulah Ikul jika ukhti Zahra mencintainya, sangat mencintainya bahkan. Tak jarang dia menangis di kamar jika mengingat Ikul. Bahkan, saking tak sanggupnya dia menahan gejolak perasaannya, hampir semua santri dan ustadzah tahu akan rahasia hatinya itu. Lebih parahnya lagi, para santri yang memang suka usil menjodoh-jodohkan Ikul dengan akhwat yang lain. Ha itu benar-benar menyakiti perasaan Zahra.
“Dia sangat mencintaimu, Sparta. Kau tahu, tidak pernah ada wanita yang sanggup menyembunyikan kata hatinya, dia akan selalu jujur kepada siapapun yang dia percaya bisa menolong meringankan beban hatinya itu. Aku yakin, jika cinta ukhti Zahra buatmu itu ditimbang, pasti bobotnya lima puluh tujuh kali lebih berat ketimbang gunung Uhud di tambah dua puluh gunung Tsur!”
Ikul hanya tertawa mendengar guyonan konyol Arul. “Ada-ada saja kau, dasar orang Bawean. Sudahlah, jangan bikin aku pusing. Aku mau ngaji.”
“Eh, bung, jangan pergi dulu. Memang dengan meninggalkanku kau tidak akan pusing, tapi bagamana dengannya? Dengan ukhti yang kata si Putro tak ada bedanya dengan bidadari itu? Apakau ingin membiarkannya tenggelam dalam keresahan dan kekalutan?” akhirnya, atas desakan Arul, Ikul pun mulai ber-sms dengan ukhti Zahra. Walau itu cuma sms standar. Tapi, dari sms itu pula Ikul mulai tahu dan yakin betapa besar cinta gadis itu padanya. Cinta yang membuatnya bergetar. Cinta yang membuatnya memikirkan tentang sunnah nabi yang sangat utama. Cinta yang membuatnya tergerak untuk berbuat lebih jauh dan lebih dewasa.
“Akhy, afwan, saya hanya ingin jujur, mengungkapkan apa yang tak mungkin bisa kusimpan lebih lama lagi. Dengan mengungkapkannya, setidaknya lebih legalah rasa hatiku.” SMS itu dibaca Ikul berulang-ulang.

Maka dua malam yang lalu, dengan kebulatan hati dan keyakinan tekad, Ikul pun mengungkapkan isi hatinya pada ukhti Zahra melalui SMS pula. Sungguh malam itu menjadi malam yang paling bahagia bagi Ikul. Dia merasa seakan dunia telah terjungkir balik, dia merasa dadanya meledak dan ribuan bunga beterbangan keluar darinya, dia merasa ada cahaya dari dalam tubuhnya. Seakan bulan dan bintang berkelip hanya untuknya. Harapan, masa depan, keberanian dan kebahagian mengisi seluruh relung jiwanya. Inilah cinta, sobat. Belum pernah Ikul sebahagia itu semenjak dia menapakkan kaki di podok ini. Ikul sering senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana akhir indah bagi cerita cintanya dengan Sang Ukhtiy.

“Hujan gini masih bisa keluar?” Sapaan Wak Min membuyarkan kenangan ikul. Tak terasa dia telah sampai di warung Wak Min. Tak langsung menjawab, Ikul mengambil duduk di bangku panjang di emperan rumah.
“Iyo wak, pengen ngemie.” Jawabnya. Tapi, sebenarnya bukan itu alasan mengapa Ikul rela menerjang hujan badai pergi ke warung itu, lantas apa alasannya?
Akhy, bsa ktmu d Wak Min bsok pkl spuluh? Biar na jawab di sana pertanyaan2 antm. Demikian bunyi sms Zahra kemarin malam. Dan tentu saja Ikul mengiyakannya. Tak peduli apapun rintangannya besok hari itu. Karena, Ikul sendiri telah menyiapkan sesuatu untuk gadisnya itu, sesuatu itu kini ada dalam genggaman tangannya, sebuah kotak mungil biru tua.

Selagi menunggu Wak Min menyiapkan mie, pikiran Ikul menerawang jauh. Dia teringat uminya yang di Jepara. Wanita kurus itu telah tua. Perjuangan dan cobaan hidup telah membuatnya lebih lemah dan lebih tua dari usianya. Umy pasti sekarang sedang sendiri. Ikul ingin membahagiakan sang bunda seperti halnya keinginan anak yang berbakti lainnya. Dia ingin merawat bundanya itu dengan sebaik-baiknya. Dan, gadis ini, ukhty Zahra ini, dia yakin sungguh dialah sosok yang tepat untuk diajak hidup serumah dengan sang bunda. Selain itu, Ikul juga merasa usianya telah matang untuk memasuki jenjang kehidupan berikutnya. Tapi, mungkin tidak akan secepat itu, dia ingat Zahra pernah bilang kalau dia mau melanjutkan kuliah selepas di pondok. Ah, itu tidak masalah, batin Ikul. Dia yakin akan kesungguhan hati Zahra. Kuliah dan menikah pasti bukan halangan, dia sudah banyak membaca tentang para aktivis dakwah yang kuliah sekaligus menikah. Selain itu, paling-paling kuliahnya di sekitar sini saja. Tidak masalah.

Sungguh, siang yang berhujan di Panyuran hari itu sama sekali tak bisa mendinginkan hati ikul. Dia penuh dengan kehangatan rasa bahagia dan harapan.

Dari sebuah tikungan, sebuah payung merah besar muncul, di bawahnya, dua sosok berjilbab berjalan beriringan. Seketika Ikul tahu, salah satu dari mereka adalah Zahra. Diperhatikannya baik-baik sosok yang kedua, ah, rupanya dia Nida, sahabat dekat Zahra. Ikul tidak terkejut karena Zahra memang sudah meminta ijin untuk mengajak serta sahabatnya itu.

“Assalamu’alaikum.” Dua santri itu menyapa.
“Wa’alaikumsalam. Tadi ana dah khawatir anti gak jadi datang.” Ikul tersenyum menyambut mereka.
Kedua akhwat itu juga tersenyum. Zahra malu-malu, mencoba menyembunyikan wajahnya tapi tak bisa.
“Afwan, akh,” berkata Nita. “Tadi maunya berangkat awal, tapi karena hujan jadi ya telat. Belum setahun kan nunggunya? Hehehe.”
Ikul ikut tertawa. Dia memesan dua mangkuk mie lagi, tapi buru-buru membatalkan yang mie. Ganti bakso wak, dia tiba-tiba ingat kalo Zahra gak suka mie ayam, aku suka bakso, begitu katanya di sms. Zahra tersenyum simpul melihat itu.
“Akhy ingat yah,” katanya pelan.

Lalu sepi. Tak satu pun ada yang bersuara. Entah mengapa tiba-tiba semuanya berubah menjadi kaku dan canggung. Hanya derai hujan yang nyaring mengisi kelengangan. Di sebelahnya, Nida menjawil-jawil Zahra, memaksanya supaya segera bicara. Ikul sebenarnya juga ingin meminta Zahra untuk segera bicara tapi tak tega. Dia memilih untuk menunggu.
“Akhy, ada hal penting yang na ingin sampaikan,” akhirnya Zahra bicara. Telinga Ikul langsung naik, suara yang lembut itu menghilangkan kebisingan hujan dengan seketika. “Sebelumnya na mau ngucapin terimakasih akhy telah mau ngertiin perasaan ana. Syukron khy. Na bisa hidup dengan lega sekarang.” Suara Zahra lembut namun tegas. Sudut bibir Ikul bergerak, membentuk senyum kebahagian yang indah. “Jawaban ana tentang pertanyaan antum adalah, ana benar-benar mencintai antum dan insya Allah ana siap, ana siap menjadi pendamping antum untuk menuju ridlo-Nya.”
Alhamdulillah, Ikul menundukkan kepala, hatinya gemuruh dengan doa dan syukur. Dia merasa dadanya bergetar. Lirih, dia sebut nama umy-nya berkali-kali.
“Terimakasih ukh. Terimakasih.” Hanya itu yang bisa Ikul katakana menanggapi.
“Tapi ada yang mau na sampaikan,”
“Apa?” Ikul mengernyitkan dahi. Untuk pertama kalinya, guntur menggelegar di langit kelabu. Menggetarkan kaca jendela yang berembun.
“Na selesai dari pondok akan melanjutkan kuliah khy. Insya Allah tahun depan.”
Oh itu, gumam Ikul lega. “Ya, anti dah bilang kemarin kan, saya siap dengan itu. Lagian, tidak masalah kan menikah sambil kuliah? Insya Allah kita bisa mengatasinya.” Suara Ikul terdengar mantap. Penuh dengan keyakinan dan harapan.

Satu detik.
Dua detik.
Sepuluh detik.
Lima belas detik. Tak ada jawaban.
“Kenapa ukh? Kenapa?” kali ini suara Ikul tidak sekuat sebelumnya.
“Afwan khy, mungkin tidak bisa. Maksud ana, belum bisa. Beum bisa ke jenjang itu.”
“Kenapa?” suara Ikul memburu.
“Saya tidak akan kuliah di sini khy. Saya kuliah di tempat yang jauh. Timur Tengah.”
Degg!!! Timur tengah?
“Timur Tengah, Ukh? Di mana? Mesir, Al Azhar? Saudi? Madinah? Yaman?” Ada getaran dalam suara ikul, kelu seperti angin dingin.
“Libia, khi. Na mau ambil jurusan syariah nanti di sana.” Zahra menundukkan wajahnya. Dia tahu Ikul menatapnya tajam kini. Dia tak kuasa menghadapi itu.
“Libia? Negaranya Kadafi itu? (Zahra mengangguk) dan, berapa, berapa lama di sana? Setahun? Dua tahun? Empat tahun?” kini tak lagi ada keyakinan terdengar dalam suara Ikul yang terbata-bata.
“Lima tahun khy. Afwan.”
Ikul terhenyak. Bunga bahagia yang memenuhi dadanya kini menguap, hilang seketika, menyisakan ruang hampa yang kosong dan gersang, hanya berisi kesedihan.
“Mengapa? Mengapa? Mengapa ukh?” Zahra tak mampu menjawab. “Mengapa begini? Anti akan kuliah, bukan hanya di luar propinsi, tapi di luar negeri, di Libia Timur Tengah! Anti akan keluar sebagai sarjana bergelar LC! Anti akan menjadi orang yang sangat jauh di atas ku! Lima tahun, lima tahun anti akan ada di sana! Mengapa? Mengapa kau lakukan ini? Tahukah apa yang sebenarnya telah anti lakukan padaku?”
“Akhy, lima tahun bukan waktu yang terlalu lama. Ana akan setia, ana akan bertahan dengan cinta ini sampai ana kembali ke Indonesia. Ana akan..”
“Apa? Bertahan ukh? Bertahan?” Suara Ikul getir, “di sana anti akan bertemu dengan banyak mahasiswa dari seluruh dunia, para pemuda yang jauh lebih kaya, lebih pintar dan lebih tampan dari aku yang rendahan ini. Apa anti bisa mempertahankan aku? Bahkan mungkin mahasiswa Indonesia pun akan mencoba mendekati anti!” Zahra tertunduk, pundaknya bergetar. Di sebelahnya, Nida tertunduk diam.
“Apa anti pikir akan semudah ini? Anti meminta saya untuk menunggu dalam keraguan dan ketidakpastian? Memangnya orang tua mana yang mau menikahkan putrinya yang bergelar LC dengan seorang pemuda kampung yang hanya lulusan SMA, hanya tamat pondok kecil di sebuah kota kecamatan kecil? Siapa? Orang tua mana? Tidak mungkin, mustahil! Kita tidak akan pernah bisa bersama. Mengapa ukh, mengapa anti lakukan ini padaku? MENGAPA KAU LAKUKAN INI PADAKU?” suara Ikul menggelegar, mengalahkan ramainya derum hujan di atap seng rumah Wak Min. “Mengapa anti harus nyatakan cinta padaku, meyakinkanku, memberiku harapan dan impian jika hanya untuk menghancurkannya!? Mengapa? Oh, aku juga bodoh, ya! Aku yang bodoh!!! Seharusnya kutanya dulu bagaimana setatus keluargamu, bagaimana latar belakang keluargamu. Ya Allah (wajah Ikul memerah, matanya berkaca-kaca). Ukhty, aku dari keluarga melarat! Miskin! Aku hanya dari keluarga petani susah yang bahkan kesulitan untuk mencari sesuap nasi hari ini! Bagaimana mungkin aku menikahi seorang gadis lulusan Timur Tengah? Bagaimana bisa? Mengapa? Mengapa harus anti nyatakan cinta jika hanya untuk meremukkan aku sampai ketulang-tulangnya!?”
Zahra menangis terisak. Tubuhnya berguncang keras tak kuasa menahan tangis. Nida merangkul sahabatnya itu, mencoba menenangkan. Padahal air mata juga meleleh di pipinya.
“Aku salah mengira dirimu. Maaf, ini mustahil. Kita tidak akan bisa lebih jauh dari ini. Tidak bisa Ukhty Zahra. Jarak itu terlalu jauh anti bentangkan bagi diriku yang tak berdaya ini.” Ikul bangkit dari kursinya, bersiap hendak pergi tapi panggilan Zahra menghentikannya.
“Akhy, tunggu, ini buat antum. Sabagi tanda cin…” tapi suaranya keburu hilang dalam tangisan yang tertahan.
“Tidak perlu. Tidak usah anti melakukan itu.” Ikul menolak. Hatinya sudah hancur, jatuh dan terkapar. Dia adalah burung pipit yang patah kedua sayapnya dalam usaha mengejar elang yang kelewat tinggi terbang.
“Akhy, tolong terima,” Nida mencoba membantu sahabatnya, “Tolong ambil hadiah itu. Setidaknya sebagai ungkapan silaturahmi sesama muslim. Apakah akhy akan menolak tali persaudaraan?”
Ikul tertegun, diambilnya bingkisan dari tangan Zahra. Bersamaan dengan itu, sebuah kotah kecil biru tua terjatuh dari genggaman ikul. Sejenak jantungnya berhenti berdetak, tapi segera dia menguasai keadaan. Diambilnya nafas dalam.
“Baik, saya terima. Tapi, saya ganti dengan kotak kecil ini. Aku membelinya dari hasil keringatku sendiri. Anggap saja kita sedang saling bertukar barang. Setelah pertemuan ini, tidak ada lagi hubungan antara kita.”
Ikul beranjak pergi, diiringi dengan tangisan Zahra yang tersendat. Gadis itu terkulai dalam dekapan sahabatnya.
“Lho Mas, Mas Ikul, mie dan baksonya gimana?” Wak Min berteriak. Rupanya, karena melihat pelanggannya sedang sibuk, Wak Min diam saja dari tadi. Arul berhenti melangkah, diambilnya selembar uang dari sakunya, diserahkannya begitu saja ke Wak Min yang masih terbengong.
“Susuknya Mas? Mas, kembaliannya? Kembaliannya gimana?” teriakan Wak Min hilang dalam derasnya hujan. Ikul tak perduli, kebahagiaan yang runtuh dengan begitu tiba-tiba membutakannya. Dia berlari menerobos derasnya hujan. Bajunya basah kuyup, tapi tak ada lagi dingin yang terasa. Gelegar guntur di langit tak didengarnya. Segalanya telah musnah. Dalam kebisuan dan sakitnya sayatan perpisahan, di bawah guyuran hujan, Ikul meneteskan butir-butir air mata. Rasanya labih asin dari air hujan.
Di belakangnya, Zahra belum bisa berhenti terisak. Nida berusaha menenangkan sahabta baiknya itu. Di meja, tergeletak kotak kecil warna biru tua dari Ikul.
“Coba lihat apa yang diberikan akhy Ikul buat mu,” maksudnya ingin menghibur Zahra, tapi malah justru menghancurkan hatinya. Kotak kecil itu, mungil dan lembut, di dalamnya, sebuah cincin emas murahan terkulai putus asa…
Ikul terus berlari, berlari, menembus tirai hujan yang semakin deras dicurahkan, air coklat di bawah pijakan kakinya terasa hitam dan sangat menyakitkan. Di kejauhan, kubah masjid pondok Al-Qudwah tampak lebih kelabu dari biasanya.
***
Hujan baru selesai menjelang pukul sembilan malam. Sekarang hampir pukul sebelas, sepi menyelimuti segalanya. Tak ada suara satu manusiapun, hanya jangkrik dan katak yang bergerung dari kejauhan. Menambah kelam dan sepinya malam yang penuh kesedihan. Di kamar Abu Bakar, di lantai tiga pondok Al-Qudwah hanya ada dua orang, Ikul dan Arul. Keduanya duduk berhadapan. Sesekali Ikul menyeka butiran air mata yang merembes dari sudut matanya yang sipit.
“Rul, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin kami bisa bersatu? Mustahil Rul. Tidak akan ada keluarga yang mau menikahkan putrinya yang lulusan Timur Tengah dengan seorang miskin rendahan kayak akau gini. Tidak mungkin Rul!!!” Arul diam, dia letakkan tangannya ke pundak sahabatnya itu, mencoba memberi kekuatan dan ketegaran. “Yang lebih menyakitkan hati, jika memang dia sudah merencanakan kepergiannya itu sejak dulu, mengapa harus mengungkapkan cintanya padaku? Mengapa harus meyakinkanku? Mengapa harus membuatku mencintainya jika hanya untuk meninggalkanku begitu saja?” Isakan Ikul lebih keras kini. Perlahan, Arul memeluk sahabatnya. Sungguh berat rasanya menanggung beban seperti itu. Arul tahu persis bagamana rasanya.
“Sobat, tenang, tenanglah, apa kau pikir hanya kau yang merasakannya? Aku juga punya sakit hati yang seperti itu, sobat. Aku juga punya…”

Malam yang sama, tiga lantai di bawah kamar Abu Bakar, di masjid akhwat, seseorang bermukenah tengah bersujud di sudut masjid. Pundaknya berguncang seiring tiap tarikan nafasnya. Sajadahnya basah dengan air mata. Tak ada kata yang terdengar darinya. Tak ada suara kecuali isak tangis yang tertahan. Dan jangkrik dan katak di kejauhan. Tangannya bergetar menggenggam sebuah kotak kecil berwarna gelap.

Malam itu, Al-Qudwah begitu kelabu dan menyedihkan. Jauh di utara sana, di tengah laut, sepertinya hujan turun lagi. Atau mungkin, sekarang pun sedang turun hujan di surga…..

19 August 2010
Arul chandrana

27 thoughts on “a raining day in paradise

  1. Assalamu’laikum,

    hai pembaca yang budiman, hehe, gmana setelah membaca cerpen di atas? Keren kan? Keren kan? Kan biasanya aku nulis cerpen suspense atau social, eh sekali waktu nulis yang romantis-tragedi juga.

    Oh ya, kisah di atas adalah rekaan belaka, sama sekali bukan berdasar kenyataan, tapi jika memang ada yang mirip dengan kenyataan, sungguh itu kebetulan yang aneh dan tak bisa dipercaya (tapi jika memang kau ngotot itu kenyataan, wahahahaha, terserahlah.)

    Untuk nama-nama yang tercomot dalam cerpen itu, semua itu nama rekaan saja, tapi jika ada yang mirip dengan kenyataan (wakkakakakaka, mirip semuanya) ana minta maaf ya, afwan katsiron. Dan, ikhlaskan saja yah, masak keberatan, ka nana cuma minjam nama, bleh ya? Boleh? Boleh?

    Terakhir, buat ehm ehm, met baca. Buat uhm uhm, met terharu. Buat ahm ahm, met tersentuh, buat ihm ihm, met sakit hati, buat ohm ohm, met penasaran, wahahaha. Buat semua santri MMQ, thanks for ur friendship and support, after all, we all are the same pilgrim.

    Wassalam.

  2. subhanallah pak catur…….
    betapa perhatian’a kau terhadap kawan sampai2 d.buatkan cerpen segala…semoga amal kebaikanmu d.lipat gandakan…
    dan dosamu d.ampuni…..
    mumpung ramadhan niey….. (heheheh plus wkwkwkwwkwk)
    eh tw gag, d.akhwat langsung gempar lho……
    Tanggung Jawab!!!!!!!!
    Kacian temenQ satu tu……

  3. @ryan: yah sodaraku, doakanlah mereka berdua. mrk btuh smgat sobat.
    @ibnu: wecahahahahaha, this ur role, dude.
    @gadis: sssst, jgn blg2! awas, tak laporin komnasham
    @kampret: ima is the loveliest thing u can ever imagine!!! trust me, old chap. hey, isnt ur heart touchd?
    @arsneth: mbaaaaaaaaaaak, hahaha, itulah tugs panjenengan. yaitu, menjadi pembela kebenaran dan menyelamatkan arul chandrana. pleaaaaaaaaaaaase.

  4. Assalamualaikum..
    Akhir yg mnydhkn berlinang keharuan..
    Bg pihak yg kurang brkenan di hati kgk diusah dpkrin dah tu kan cm cerpen,kshan mbah arul tuh,.panas-dingin mkrn dosa2nya,.

  5. I have to admit that when I first read this post, I just scanned and slipped it to the end of the article. Then I came back here, rereading this writing. I just realized that this story is very touching, hearthrecking, sad and intriguing. You successfully presented the rainy scene, bro. Very artistic! I love your style. You’re the real stylist.

  6. mas marko. . . . . seru th crtana tp aq msh mw tw lnjtana. q tggu ych? em. . . . . tk yg td kak markoces= htq blum trsnth ni. krang bsa menghyati kt2x

  7. @agus: bang, tak tahulah aku ini. bgtu tau bnyk ahwt yg mw angkt snjata mlawan ambo, ambo jd ketakutan. mkanya, ambo bikin prmntaan maaf.
    @david: daviiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiid ur always th eone who can make me know that im a real good authr. thank u bro i alwasy lov ur cment. i’ll come t ur blog!!!
    @markosyauq: walah walah, bgmna pula hatimu tak tersentuh? ape msh ada hati dlm daamu sobat? macam mana ni?

  8. hm……………………. Mr, marko…………………….. trnyta bner………………… aq skt hati………. ktk mmbcax dadaq bergtar hbat………………… seru seru yg aq ska . jlan critax. diksi bhsnx pnggmbran settingx………………. smwx dch……………… lnjutanx lnjutanx kak……………………..

  9. @koy: mbak zukoooooooooooooo, wahahaha, trmkasih mbak untuk pujiannya. thats always wonderful to have it.
    @asma: trmksh special one.
    @niondi: hehehe, tggu bbrp abad lg yah. sabarrrrrrrrrrrrrrrrrr
    @al-fanjari: tanuki, trims untuk smua kata2 manismu. aku jd smgt nulis lg.
    @tante ajeng (wehahahaha): hey, anda ingin dia jd film? heaaaaaaaa, trmkasih dukungannya. utk itu aku harus bikin dia jd novel dlu. doakan yah saudari.

  10. Mmbca ini,rasanx sprt mmbca khdupang. Tdk brlbhn tp sgt mndalam.
    Quw tggu ksh yg lain. Eh,kbrx gi bkin cerpen pendidikan? Wah,seru donk. Kpan dipost kan? Quw dftar jd pmbaca pertama! Slm sukses parajhoka bawean.

  11. oeiy, pungshuk wangdu, cepet diterusin mpe selese yach!
    coZ qta para ikhwan manarul dah g sabar nih, pengen lihat pak ikul sengsara… hohohohoho.
    g kan repot kok, da 2 org T.U, yaitu 2 org shohibM ndiri……

Leave a reply to asma dunk! Cancel reply